30 Maret 2009

SEPERTI UPUNG MAMADAHI MAYANG


Dalam setiap jengkal perjalanan hidupnya, manusia selalu mencari figure yang dapat dijadikan suri tauladan, digugu dan ditiru. Keteladanan dapat diperoleh dari ucapan, perilaku dan perbuatan di setiap lingkungan dan komunitas manusia. Interaksi sosial sering pula melahirkan kebanggaan terhadap suatu figure yang kemudian dijadikan sebagai tokoh panutan.
Orang tua adalah “tokoh mayang” bagi anak-anaknya yang diharapkan dapat menuntun mereka meniti kehidupan hingga menjadi manusia dewasa yang mumpuni. Seorang suami adalah mayang bagi sang isteri, seorang kakak adalah mayang bagi adiknya dan seorang pemimpin adalah tokoh mayang bagi orang yang dipimpinnya.
Posisi sebagai mayang adalah panutan bagi orang yang berposisi sebagai “upung”. Sehingga dalam kenyataannya, mayang tidak pernah berbalik arah menjadi upung. Namun dalam konteks kehidupan manusia, tak jarang seseorang yang seharusnya menjadi panutan justru memberikan contoh yang tidak baik bahkan lebih buruk kelakuannya dari seorang “upung”. Sehingga tidak ada suri tauladan yang dapat diharapkan dari orang demikian.
Kalaupun kemudian dia mewejangkan suatu teladan dalam bentuk petuah atau aturan, akan tetapi sikap dan kelakuannya tetap tidak sesuai, samalah artinya dengan pepatah banjar, Seperti Upung mamadahi mayang”. Yang seharusnya memberi nasehat tidaklah lebih baik dari yang dinasehati, pun yang digugu dan ditiru tidak lebih baik dari orang yang meniru.
Fenomena tersebut bukanlah hal yang langka saat ini. Manakala seorang guru menodai anak didiknya, manakala seorang ayah meniduri anak kandungnya sendiri, manakala seorang kakek memperkosa cucunya sendiri, manakala seorang pemimpin membohongi rakyatnya, manakala dan manakala. Sehingga manakala semua itu sudah terjadi, keteladanan seperti apa yang dapat diharapkan ?
Pada gilirannya, upung beranjak menjadi mayang dan mayang tak dapat lagi kembali menjadi upung. Harapan semua kita adalah menjadikan upung sebagai mayang yang menebarkan pesona ketauladanan bahkan melebihi mayang yang ada. Tinggal lagi keseriusan kita dalam memerankan tokoh mayang, entah seorang pemimpin terhadap orang yang dipimpin, seorang suami terhadap isteri, orang tua terhadap anak, kakak terhadap adik dan sebagainya, sehingga keteladanan yang diberikan benar-benar sesuai dengan apa yang diucapkan dan yang diperbuat.

Essai budaya ini dimuat di bulletin Padaringan Edisi 02 Vol. 1 Tahun 2004. Diterbitkan oleh Persatuan Mahasiswa Kalimantan Selatan Yogyakarta. Sengaja kuposting diblog ini untuk mengingatkanku akan kenangan-kenangan indah di Yogyakarta 2000-2004

Lanjut membaca “SEPERTI UPUNG MAMADAHI MAYANG”  »»

28 Maret 2009

RAMBUT BAKARUL DAN BURIT BAKARUL


Lama tidak ngepost jadi kangen juga….
Iseng iseng aku melihat jejak langkah pengunjung di blogku ini lewat fedjit.com, ada pengunjung yang mengunjungi blog ini lewat search engine google. Tag yang dicari adalah BURIT BAKARUL trus IP addressnya sih Banjarmasin. Saat itu ada 3 blog berbeda yang memuat tag tersebut yang ternyata sama-sama berdasarkan lirik lagu Siti Ropeah.
Setiap tag atau kata kunci di mesin pencari tentunya mempunyai maksud yang semuanya berawal dari pikiran di pencari. Tag BURIT BAKARUL sempat membuatku merem melek memahami apa yang ada di pikiran orang saat memasukkan kata kunci tersebut. Beda halnya kalau kata kunci yang dimasukkan adalah (maaf bro: ) gadis nakal, gadis telanjang, gadis bugil, artis seksi, gambar perek dan sebagainya. Kita udah cepat nangkap maksud di kepala orang, pasti dah kepikiran ngerezzzzzzzz..
Orang Indonesia jelas tidak paham dengan kata kunci ini (tapi Mbah Google ngerti lo..), karena ini bahasa banjar. BAKARUL bisa disandingkan dengan rambut dan burit. RAMBUT BAKARUL artinya rambut yang digulung dengan alat roll terbuat dari plastik. Tujuannya untuk membuat rambut jadi bergelombang. Trend ini terakhir pada era tahun 80-an. Jaman sekarang sangat jarang terlihat wanita yang menggulung rambutnya dengan assesories tersebut. Aku ingat kakakku pada tahun 1980 yang berusaha membikin rambutnya bergelombang. Tiap malam terlihat roll-roll bergelayutan di rambutnya. Saat itu aku udah SD, sedangkan saudaraku sudah SMA. Terlihat cantik dengan seragam SMA trus rambutnya bergelombang.
Jadi ingat masa lalu. Trus BURIT BAKARUL, burit artinya bokong. Kalau ditafsirkan berarti BOKONG BAHENOL. Wah hik hik… ternyata pikirannya ngerezz juga. Yang punya blog underground bisa menambahkan tag burit bakarul ke weblog mereka (ini bukan saran lho). Karena ini mungkin akan meningkatkan SEO traffic. Sekarang belum lazim karena belum ngeindonesia, masih ngelokal.

Lanjut membaca “RAMBUT BAKARUL DAN BURIT BAKARUL”  »»

13 Maret 2009

Tabalong, sebuah Penderitaan kah ???


Masing masing nama daerah pasti mempunyai arti. Asal muasal nama suatu daerah bisa tercipta dari suatu peristiwa, diberikan oleh seorang pemimpin, atau dari kebiasaan rakyat menyebut nama tempat.
Misalnya Jakarta, berasal dari kata “Jaya Karta” yang artinya Negara yang Jaya. Nah seru kan? Namanya penuh arti. Kemudian Banjarmasin, berasal dari kata “Bandar Masih” yang artinya Bandar atau pelabuhan yang dikelola oleh Patih Masih pada masa kerajaan. Kemudian namanya terpeleset kebiasaan menyebutnya menjadi Banjarmasin.
Kemudian negeri kita disebut Nusantara artinya Negara yang terdiri dari banyak pulau. Wiuh banyak deh pokoknya kalau mau disebutkan satu-satu. Pembaca juga pasti punya sebutan-sebutan tempat lain yang mempunyai arti.

Aku kemudian kebetulan membaca literature asal kata TABALONG (salah satu kabupaten di Kalimantan selatan) di www.wikipedia.org, berikut kutipannya :

Legenda tentang terciptanya nama Tabalong menurut hikayat lisan dari mulut ke mulut yang tersebar sejak tahun empat puluhan, ialah seperti yang di tulis seniman Tabalong dalam buku antologi puisi "Duri-duri Tataba" tahun 1996 yang di terbitkan Dewan Kesenian Daerah (DKD) Tabalong, menyebutkan bahwa terwujudnya sebutan Tabalong yaitu bermula dari para perambah hutan yang mencari ladang dan huma hingga kakinya terinjak duri-duri Tataba, sejenis pohon yang seluruh batangnya penuh berduri keras, jenis tanaman ini mempunyai akar Tunjang dan berbuah hanya menjadi makanan burung-burung hutan. Mereka menjerit (dalam bahasa Banjar Hulu, dikatakan "Jerit" sama dengan Tahalulung atau sama dengan melolong), karena kesakitan terkena duri-duri Tataba, inilah akhirnya menjadi penyebutan "TABALONG". Artinya terinjak duri Tataba…..jadi Tahalulung menjadi nama …"Tabalong".

Saya jadi bertanya, benar gak sih demikian. Atau hanya sekedar justifikasi alias pembenaran saja. Jangan-jangan istilahnya ‘daripada tidak ada cerita asal nama daerah lebih baik dibuat cerita yang ngepas-pasin supaya cocok dengan asal kata nama Tabalong’.
Point penting dari literature wikipedia tersebut yang harus digarisbawahi adalah :
- Nama tersebut berasal dari hikayat lisan
- Duri tataba
- Tahalulung
- Tidak ada arti yang signifikan / berarti
Pertanyaannya adalah :
Tidak adakah literature lain. Misalnya dari dokumen-dokumen jaman penjajahan. Kenapa harus dari hikayat lisan mulut ke mulut. Inikan sangat lemah, lagipula daerah ini tidak mempunyai cerita rakyat yang menceritakan terjadinya peristiwa perambah hutan yang terinjak duri tataba kemudian menyebut bahwa nama daerah ini berasal dari peristiwa tersebut.
Kemudian masalah duri. Duri kan sangat banyak, apa kebetulan saja duri tataba? Ada duri rukam, duri ku’u atau pu’u dan banyak lagi yang lainnya.
Terkait dengan peristiwa terinjak duri tataba dan kemudian tahalulung, lantas dengan itu kemudian merupakan asal nama Tabalong? Masa sih nama suatu daerah mempunyai arti yang tidak penting sekaligus menyedihkan seperti ini. Kalau saya artikan Tabalong adalah sebuah penderitaan yang tidak bisa dicari jalan keluarnya selain minta tolong. Iya kan. Sesuai dengan literature di atas.
Saya jadi tidak setuju dengan itu. Saya yakin Tabalong pasti ada makna lain deh.
Sebenarnya agak takut juga nih mengkritisi hal yang berkaitan dengan daerah. Takutnya nanti malah diborgol oleh yang berwajib. Tapi tujuan mengkritisi tidak untuk mendiskreditkan, hanya ingin mencari kebenaran saja. Jika saya yang salah, itu karena kekurangan ilmu dan pengetahuan yang saya miliki.
Catatan kecil ini hanya untuk saling berbagi. Hanya sekedar uneg-uneg tanpa ada muatan politis maupun social.


Lanjut membaca “Tabalong, sebuah Penderitaan kah ???”  »»

12 Maret 2009

Lirik Lagu Banjar : ANAM BULAN & SITI ROPEAH

By : Chacan

ANAM BULAN

Anam bulan kutinggalakan
Anam bulan ikam surangan
Aku tulak ka balik papan
Janji datang di musim katam

Anam bulan bajajauhan
rasa mamandang
Ada janji diucapkan
Imbah katam badadatangan


Kita balarangan kita balarangan oh sayang 2 x

Wayahnya aku datang bulik ka kampung halaman
Kada parcaya malihat ikam basanding
Ikam nang kusayang-sayang
Ikam nang janji mahadang
Talalu banar purun maninggalakan
Aku kada badaya aku kada kuasa
Malihat ikam duduk di palaminan

Kada kawa aku mamandang
Kada kawa aku maniring
Wayah ikam liwat bajalan
Rambut basah maurai panjang
Salamat bapisah kita bagaganangan oh sayang 2x
(hancur lebur ma ai Umai li ma, hancur lebur)

Anam bulan kutinggalakan
Anam bulan ikam surangan
Aku tulak ka balik papan
Janji datang di musim katam

Anam bulan bajajauhan
Kada kawa diri manyandang
Ada janji diucapkan
Imbah katam badadatangan
Kita balarangan kita balarangan oh sayang 2 x



SITI ROPE’AH


Dimapa akal naik sapida mini
Sapida kimpis remnya pulang malingkit
Dimapa akal handak mancari bini
Bini nang manis tapi nang ganal burit

Siti Rope’ah urangnya bungas
Urangnya seksi pintar baaksi
Siti Rope’ah urangnya bahenol
Ujar urang jua, biar tuha asal bakarol

Siti Rope’ah …nang awak mungkal
Sakali singgul, hati rasa tapuntal

Oy oy oy oy… Siti Rope’ah
Baisukan bangun guring
Bapupur basah pina maruping
Handak mandi turun ka lanting
Bajalan kenjat kenjot

Oy oy oy oy… Siti Rope’ah
Salawar kantat babaju singkat
Talihat pusat aku lalu tapikat
Rope’ah sayangi aku
Rope’ah cintai aku
Rope’ah ……..
Aku takutan ikam diambil urang

(Rope’ah … Rope’ah,
nyawa biar bapupur basah nang kaya ini
tatap bungas jua unda lihat
Ujar urang jua tu, biar tuha asal bakarul.
He raja ading nih)

**Kembali ke atas…

Lanjut membaca “Lirik Lagu Banjar : ANAM BULAN & SITI ROPEAH”  »»

11 Maret 2009

KETIKA PENGOBATAN KEMBALI KE "TETAMBA KAMPUNG"


Kian maju masyarakat, akhirnya kembali ke habibat. Mungkin opini yang tak lazim itu ada benarnya. Tak percaya? Pengobatan tradisional alias "tetamba kampung" ternyata terus jadi pilihan alternatif.
Suara lirih terdengar jauh. Tiba-tiba, serentak seluruh pengunjung dan pedagang di kawasan Pasar Cempaka berkerumum. Mereka membentuk lingkaran. Pagi itu mereka terlihat serius. Di tengah kerumunan, seorang pria paruh baya berpostur tambun, tengah sibuk meracik dan meramu resep pengobatan alternatif.
Aneka biji-bijian dan buah-buah hasil kekayaaan rimba Kalimatan diramu secara manual. Tak ada peralatan medis yang canggih. Cuma sebilah gunting yang terlihat agak karatan.
Tapi, para pengunjung tampak terlena. Mereka rela berdesak-desakan, menguping, apa resep yang dibawa "anak rimba" Kalimantan itu.
Adalah, Muslim alias Anggut alias Salim, pandai berpromosi. Ia begitu telaten meracik ramuan yang terbilang langka. Untuk menambah kharismatik pengobatan tradisional, ia memamerkan aneka tumbuhan, akar-akaran yang diboyong dari pegunungan Meratus dan pedalaman Kaltim-Kalteng. Tak ketinggalan, tengkorak kepala menjangan, tanduk hingga bulu landak memberi kesan mistis dalam pengobatan. "Jangan ragu, tidak ada efek samping," teriak Muslim berpromosi.
Dengan bahasa Banjar, sebagai bahasa pengantar. Anggut, warga Lampihung Kanan, Kalsel, itu mampu "menggoda" para calon pembeli. Tak tanggung-tanggung, foto-foto para pemilik ramuan dari suku Dayak di Kalsel, Kaltim dan Kalteng ikut dipamerkan. Bahkan, foto Amien Rais mengenakan busana Dayak Kaltim ikut dipajang. Tampak sederhana, tapi mempunyai daya magnit mengikat.
Anggut mulai menjalankan operasi. Dengan media air mineral bermerek "Aqua" dari satu dos, ia campur aneka akar-akaran pedalaman Kalimantan. "Orang sekarang sudah kembali ke Tetamba Kampung. Kalau nggak percaya? Seorang dokter pun pernah membeli ramuan saya," ujar Anggut berpromosi.
Sedikitnya ada delapan akar-akar yang ia bawa. Tumbuhan yang mulai dilupakan warga, dibongkar dan dijelaskan satu per satu khasiatnya. Delapan akar itu dicampur satu dalam botol Aqua, ukuran sedang. Ada akar Raja Mandak, Raja Bangun, Pasak Bumi, Kuning, Saluang Bilum, Rahwana, kulit kayu sentok madu, dan buah parangsang gunung, diceplong jadi satu. Air putih berubah menjadi kuning, hingga kehitam-hitaman.
Menurut Anggut, larutan itu bisa diminum setelah dua jam teredam dan tercampur sempurna. Aneka khasiat dihasilkan ramuan itu, seperti penyakit kencing manis,ginjal, tumor, asam urat, rematik, liver, asma hingga puluhan penyakit yang dianggap horor bagi masyarakat. "Ini buat tatamba kampung. Dijamin tidak ada efek sampingnya," ujar Anggut.
Menariknya, penjelasan yang dianggap cukup logis itu mengajak pengunjung untuk membeli. "Apa yang diungkapkan, memang benar," ujar Udin, seorang pengunjung, sambil merogoh kantongnya. Ia pun membeli ramuan Anggut seharga Rp20 ribu per botol.
Menurut Udin, pengobatan tradisional alias tetamba kampung kini mulai dilupakan orang. Ini seiring dengan kian majunya teknologi pengobatan modern. Namun dalam perjalangan, tetamba kembali diminati masyarakat.
Ia mengaku telah merambah berbagai metode dan cara pengobatan modern. Namun hasilnya tak memuaskan. Udin kembali ke habitatnya. Ia memilih pengobatan warisan leluhur itu. "Apalagi sekarang obat-obat yang beredar banyak mengandung bahan kimia. Jadi lebih terjamin, pengobatan tradisional," ujarnya sembari membawa dua botol yang telah dibelinya itu. Ia berharap asam urat bisa sembuh dengan delapan ramuan Anggut.



Lanjut membaca “KETIKA PENGOBATAN KEMBALI KE "TETAMBA KAMPUNG"”  »»
 
© Copyright by Kelua Gaul :: Informasi Banua Seputar Budaya, Ekonomi, Sosial, Agama dan Pendidikan  |  Template by Kelua Gaul