11 Maret 2009

KETIKA PENGOBATAN KEMBALI KE "TETAMBA KAMPUNG"


Kian maju masyarakat, akhirnya kembali ke habibat. Mungkin opini yang tak lazim itu ada benarnya. Tak percaya? Pengobatan tradisional alias "tetamba kampung" ternyata terus jadi pilihan alternatif.
Suara lirih terdengar jauh. Tiba-tiba, serentak seluruh pengunjung dan pedagang di kawasan Pasar Cempaka berkerumum. Mereka membentuk lingkaran. Pagi itu mereka terlihat serius. Di tengah kerumunan, seorang pria paruh baya berpostur tambun, tengah sibuk meracik dan meramu resep pengobatan alternatif.
Aneka biji-bijian dan buah-buah hasil kekayaaan rimba Kalimatan diramu secara manual. Tak ada peralatan medis yang canggih. Cuma sebilah gunting yang terlihat agak karatan.
Tapi, para pengunjung tampak terlena. Mereka rela berdesak-desakan, menguping, apa resep yang dibawa "anak rimba" Kalimantan itu.
Adalah, Muslim alias Anggut alias Salim, pandai berpromosi. Ia begitu telaten meracik ramuan yang terbilang langka. Untuk menambah kharismatik pengobatan tradisional, ia memamerkan aneka tumbuhan, akar-akaran yang diboyong dari pegunungan Meratus dan pedalaman Kaltim-Kalteng. Tak ketinggalan, tengkorak kepala menjangan, tanduk hingga bulu landak memberi kesan mistis dalam pengobatan. "Jangan ragu, tidak ada efek samping," teriak Muslim berpromosi.
Dengan bahasa Banjar, sebagai bahasa pengantar. Anggut, warga Lampihung Kanan, Kalsel, itu mampu "menggoda" para calon pembeli. Tak tanggung-tanggung, foto-foto para pemilik ramuan dari suku Dayak di Kalsel, Kaltim dan Kalteng ikut dipamerkan. Bahkan, foto Amien Rais mengenakan busana Dayak Kaltim ikut dipajang. Tampak sederhana, tapi mempunyai daya magnit mengikat.
Anggut mulai menjalankan operasi. Dengan media air mineral bermerek "Aqua" dari satu dos, ia campur aneka akar-akaran pedalaman Kalimantan. "Orang sekarang sudah kembali ke Tetamba Kampung. Kalau nggak percaya? Seorang dokter pun pernah membeli ramuan saya," ujar Anggut berpromosi.
Sedikitnya ada delapan akar-akar yang ia bawa. Tumbuhan yang mulai dilupakan warga, dibongkar dan dijelaskan satu per satu khasiatnya. Delapan akar itu dicampur satu dalam botol Aqua, ukuran sedang. Ada akar Raja Mandak, Raja Bangun, Pasak Bumi, Kuning, Saluang Bilum, Rahwana, kulit kayu sentok madu, dan buah parangsang gunung, diceplong jadi satu. Air putih berubah menjadi kuning, hingga kehitam-hitaman.
Menurut Anggut, larutan itu bisa diminum setelah dua jam teredam dan tercampur sempurna. Aneka khasiat dihasilkan ramuan itu, seperti penyakit kencing manis,ginjal, tumor, asam urat, rematik, liver, asma hingga puluhan penyakit yang dianggap horor bagi masyarakat. "Ini buat tatamba kampung. Dijamin tidak ada efek sampingnya," ujar Anggut.
Menariknya, penjelasan yang dianggap cukup logis itu mengajak pengunjung untuk membeli. "Apa yang diungkapkan, memang benar," ujar Udin, seorang pengunjung, sambil merogoh kantongnya. Ia pun membeli ramuan Anggut seharga Rp20 ribu per botol.
Menurut Udin, pengobatan tradisional alias tetamba kampung kini mulai dilupakan orang. Ini seiring dengan kian majunya teknologi pengobatan modern. Namun dalam perjalangan, tetamba kembali diminati masyarakat.
Ia mengaku telah merambah berbagai metode dan cara pengobatan modern. Namun hasilnya tak memuaskan. Udin kembali ke habitatnya. Ia memilih pengobatan warisan leluhur itu. "Apalagi sekarang obat-obat yang beredar banyak mengandung bahan kimia. Jadi lebih terjamin, pengobatan tradisional," ujarnya sembari membawa dua botol yang telah dibelinya itu. Ia berharap asam urat bisa sembuh dengan delapan ramuan Anggut.



1 komentar:

Anonimmengatakan...

bisa di jadikan cerpen nih tulisan nya bang,,, heheheheh.... mantap , . . .

Posting Komentar

Terima kasih komentarnya.Let's Share Together...

 
© Copyright by Kelua Gaul :: Informasi Banua Seputar Budaya, Ekonomi, Sosial, Agama dan Pendidikan  |  Template by Kelua Gaul